Nyai siti mas Wardiyah akhirnya
membesarkan dan mendidik lima anaknya dalam keadaan janda dan serba kekurangan.
Hingga akhirnya beliau menikah lagi dengan KH. Mansur. Tidak puas dengan
keadaan yang ada dirumah akhirnya ach. Nashrullah yang pada saat itu berusia 12
tahun sesudah tamat MI-BU merantau ke kota Bumi ayu Jawa Tengah dan di asuh
oleh Kyai ma’sum di desa leren Bumi ayu. Kecerdasan beliau di ketahui oleh sang
kyai, oleh karena itu rasa hormat dan sayangnya putra asuhnya diwujudkan denagn
mengankat sebagai guru madrasah yang diasuh oleh Kyai ma’sum tersebut. Kurang
lebih lima tahun di bumi ayu kemudian dipanggil pulang oleh KH. Wahab Hasbullah
agar membantu mengelola pesantren yang saat itu sering di tinggal ke jakarta
untuk urusan politik dan kenegaraan. Maka Ach. Nashrullah yang saat berusia 17
tahun telah tampil menjadi guru Nahwu dan bahasa Arab di pondok Al-latifiyyah
yang telah dirintis oleh kakeknya yang bernama chasbullah dan lathifah.
Guru muda dan primadona ini akhirnya
menyunting gadis pilihan yang merupakan salah satu murid beliau dan lurah
pondok saat itu, ia adalah Siti Zubaidah binti H. Sulaiman, gadis polos dari
desa Keboan kecamatan kudu Jombang yang pandai melantunkan bacaan Al-Qur’an.
Tanggal perkawinannya adalah 27 September 1958. dari perkawinan tersebut beliau
melahirkan enam orang putra, lima perempuan dan satu laki-laki. Secara
berurutan mereka adalah Munhidhatul Ummah, Umdatul Khoirot, Roidhatus Salamah,
Zumrotus Sholichah, Moh. Habiburrahman dan yang terakhir Sa’adatul Athiyah.
Kini mereka sudah menjadi manusia dewasa yang mengamban amanah Pesantren
As-Sa’idiyah sepeninggal beliau.
Perjuangannya sesudah menikah, Achmad
Nasrullah yang saat itu terkenal terkenal dengan panggilan Gus Nasrul pulang
kerumah mertua di Keboan. Disinilah Gus Nasrul melanjutkan perjuangannya
menjadi guru ngaji dan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1961 dan
sampai sekarang Madrasah tersebut masih hidup dan berkembang kurang lebih 21
tahun di Keboan lalu di panggil lagi untuk pulang ke tambakberas sesudah wafatnya
KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1977 beliau diangkat menjadi kepala Madrasah
Mualimin Mualimat (MMA) BU kurang lebih selama 15 tahun.
Tampaknya sudah menjadi garis yang khaliq
bahwa kelahiran beliau ini memang untuk berjuang. Watak keras yang melingkupi
diri beliau ini justru menjadi energi bagi semangat juangnya. Pada tahun 1985
beliau merintis As-Sa’idiyah yang sampai sekarang bisa kita manfaatkan bersama
tanpa bergantung kepada bantuan pemerintah. Dan pada tahun 1981 mendirikan
Madrasah I’idadiyah Lil Mu’alimin Wal Mu’alimat dua tahun, lalu pada tahun 1991
berubah menjadi Madrasah I’idadiyah Lil Jami’ah Bharul ‘Ulum Program lima
tahun, hingga pada tahun 2005 Madrasah I’idadiyah memiliki program
baru yaitu hanya tiga tahun untuk menempuh study dan berlanjut hingga sekarang
MAJ terus berkembang. Pada tahun ajaran 2009 ini MAI memiliki program baru
yakni beasisiwa SPP dan asrama bagi seluruh murid baru.
Cita-cita beliau untuk mendirikan dan
membesarkan Madrasah ini tidak pernah pudar sekalipun harus melalui jalan
terjal yang memberatkan, terutama ketika belum mempunyai gedung sendiri
kemudian dipaksa pindah dari tempat semula yang ditempati selama beberapa
tahun, demi perjuangannya beliau KH. Achmad Nasrullah Abdurrahim rela
mengorbankan sebagian rumahnya untuk belajar para siswa-siswi SPPT. Keadaan
seperti ini berjalan selama tiga tahun dan alhamdulillah sekarang sudah
memiliki gedung sendiri.
Selain sebagain pendidik beliau pernah aktif
di berbagai organisasi-organisasi yang ada dibawah naungan Nahdlotul ‘Ulama
misalnya : Anshor, pernah menjadi Katib Syuriyaspur NU Jawa Timur,
Anggota pengurus pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah, juga menjadi hakim agama
Pengadilan Negeri Jombang kurang lebih selama 10 tahun, pengurus MUI Jombang
angota DPRD, Dosen Ilmu Fiqih di UNHASI Tebuireng Jombang yang sekarang
berganti nama menjadi IKAHA.
POLA PEMIKIRAN BELIAU
Pola pemikiran abah KH. Achmad
Nasrullah yang paling kental dalam sikap hidupnya adalah: moderat, salafi
modern, dan kepekaan sosial. Moderat yang dimaksud disini adalah tidak kolot
atau lalim juga disebut juga dengan ekstrim. Artinya adalah memandang suatu
masalah yang berkaitan dengan hukum, tidak dikembalikan pada ketentuan fiqih
murni (fiqih sentris) saja, tetapi lebih dikembalikan pada kaidah-kaidah fiqihiyah
dimana faktor ilat hukum dan maslahat lebih sangat diperhatikan. Misalnya
pada zaman 70-an dimana memakai celana bagi kaum perempuan itu diharamkan oleh
sebagian ulama, maka Kyai Nasrullah menetapkan “boleh” memakai celana selama
tidak menyerupai laki-laki dan membawa rasa aman bagi perempuan itu.
Kemudian yang kedua adalah bahwa beliau tetap
ingin memperhatikan nilai-nilai lama, kitab-kitab salaf, ajaran-ajaran ulama’
salaf tapi disampaikan dengan pendekatan dan metode yang modern. Hal ini bisa
kita lihat, misalnya dalam mengajar tafsir fiqih atau ilmu-ilmu yang lain. Dan
didalam memberikan dan menerangkan pelajaran tidak tekstual, akan tetapi kepada
anak didik diajarkan pula tentang materi-materi pelajaran itu dalam kaitannya
dengan kehidupan yang dialami oleh anak didik dimana dan kapan mereka tinggal
dan belajar (konstektual).
Yang ketiga adalah Kepekaan Sosial. Sifat yang
ketiga ini melekat dalam diri beliau barangkali karena beliau merasakan sendiri
bagaimana menjadi anak yatim dan serba kekurangan. Karena itulah beliau
mengajarkan bagaimana cara menyayangi orang-orang lemah(dhuafa’). Dalam praktek
keseharian beliau selalu memperhatikan santri atau anak anak didik yang
potensial tapi tidak mempunyai biaya dengan memberikan beasiswa ataupun dispensasi
SPP. Memberikan dukungan moral maupun material kepada para santri terutama yang
tak cukup biaya namun mempunyai prestasi dan kepandaian karena beliau sangat
mencintai ilmu dan orang-orang pintar.
Inilah sekelumit tentang KH.
Nasrullah yang amat kita cintai. Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah yang
terbaik dari beliau.dan mudah-mudahan amal beliau diterima disisi-Nya. Amin...
0 komentar:
Posting Komentar