Dalam
kehidupan modern dewasa ini banyak individu secara lahiriyah tampak sehat,
terpenuhi segala macam kebutuhan material. Tetapi apabila ditelusuri lebih
jauh, fakta menunjukan bahwa sebagian besar individu yang hidup di
tengah-tengah masyarakat tersebut menderita penyakit mental yang cukup parah,
sehingga pada stadium berikutnya akan mengerogoti ketahanan fisik.
Sebuah
fakta menunjukkan, lebih dari separoh tempat tidur di semua rumah sakit di
Amerika Serikat terisi oleh pasien-pasien gangguan mental, dan untuk mereka
dikeluarkan dana jutaan dolar pertahunnya (Fromm, 1995:5).
Ganguan
mental dapat berakar dari tidak terpenuhinya kebutuhan psikis dasar yang
berasal dari kekhasan eksistensi manusia yang harus dipuaskan, tetapi cara
memuaskan psikis itu bermacam-macam, dan perbedaan cara pemuasan kebutuhan
tersebut serupa dengan perbedaan tingkat gangguan mental.
Fromm
menyatakan, konsep kesehatan mental mengikuti kondisi dasariah eksistensi
manusia di segala zaman dan kebudayaan. Kesehatan mental dicirikan oleh
kemampuan mencintai dan menciptakan dengan lepas dari ikatan-ikatan inses
terhadap klan dan tanah air, dengan rasa identitas yang berdasarkan pengalaman
akan diri sebagai subjek dan pelaku dorongan-dorongan dirinya dengan menangkap
realitas di dalam dan di luar dirinya, yaitu dengan mengembangkan obyektivitas
dan akal budi (Fromm, 1995:74).
Menurut
Langgulung (1986:3), bidang kesehatan mental adalah salah satu bidang yang
paling menarik di antara bidang-bidang psikologi, baik di kalangan ilmuwan
maupun orang awam. Sebab, untuk mencapai tingkat yang sesuai dengan kesehatan
mental itulah dambaan setiap individu.
Seiring
perkembangan pemikiran dan peradaban manusia, perhatian manusia terhadap
kesehatan mental semakin meningkat, sebab manusia semakin sadar bahwa kehidupan
yang layak adalah manakala seseorang dapat menikmati hidup ini bersama-sama,
berdampingan dengan orang lain. Kehidupan seseorang yang mengalami gangguan mental,
tidak kurang pedihnya dari penyakit jasmani.
Zakiah
Daradjat (1995:78) menuturkan, pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari
dapat membentengi seseorang dari gangguan jiwa (mental) dan dapat pula
mengembalikan jiwa bagi orang yang gelisah. Karena kegelisan dan kecemasan yang
tidak berujung pangkal itu, pada umumnya berakar dari ketidak puasan dan
kekecewaan, sedangkan agama dapat menolong seseorang untuk menerima kekecewaan
sementara dengan jalan memohon ridla Allah dan terbayangkan kebahagian yang
akan dirasakan di kemudian hari.
Semakin
dekat seseorang dengan Tuhan, semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin
tentramlah jiwanya serta semakin mampu menghadapi kekecewaan dan kesukaran
dalam hidup dan sebaliknya. Dan semakin jauh seseorang dari agama, akan semakin
sulit baginya untuk memperoleh ketentraman hidup.
Dalam
Islam cakupan wilayah ibadah sangat luas, misalnya shalat, puasa, haji, dan
lain-lain. Namun tulisan ini hanya membahas pengaruh puasa terhadap kesehatan
mental.
Sekilas Tentang Puasa
Puasa
dalam bahasa Arab di sebut al-shaum yang berarti menahan (imsak).
Sedangkan secara terminologis, puasa adalah suatu ibadah yang diperintahkan
Allah kepada hamba-Nya yang beriman dengan cara mengendalikan diri dari syahwat
makan, minum, dan hubungan seksual serta perbuatan-perbuatan yang merusak nilai
puasa pada waktu siang hari sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (MUI
DKI Jakarta, 2006: 15).
Pendekatan
yang paling dulu dikedepankan dalam memahami puasa menurut Djamaluddin Ancok
(1995:20) adalah dengan menggunakan pendekatan keimanan. Dengan pendekatan ini,
perilaku puasa lebih didasarkan kepada ketertundukan kepada Allah dan bukan
kepada alasan-alasan lain.
Sejarah
mencatat, puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dalam masyarakat
manusia, yakni sejak manusia pertama Adam as. hingga umat terakhir dari segala
Nabi dan rasul Muhammad saw. (Moede, 1990:14).
Puasa
sangat berkaitan dengan ide latihan atau riyadlah (exercise),
yaitu latihan keruhanian, sehingga semakin berat, semakin baik, dan utama, maka
semakin kuat membekas pada jiwa dan raga seseorang yang melakukannya.
Kekhasan
ibadah puasa adalah sifatnya yang pribadi atau personal, bahkan merupakan
rahasia antara seseorang manusia dengn Tuhannya. Puasa merupakan latihan dan
ujian kesadaran akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (ompripresent) dan
yang mutlak tidak pernah lengah sedikitpun dalam pengawasan-Nya terhadap
tingkah laku hamba-hamba-Nya. Kesadaran seseorang akan beradaan Tuhan itu akan
menjadikan dirinya senantiasa mengontrol emosi serta perilakunya, sehinga
muncul keseimbangan lahiriyah dan batiniyah.
Bila
ibadah puasa ditelaah dan direnungkan akan banyak sekali ditemukan hikmah dan
manfaat psikologisnya. Misalnya saja, bagi mereka yang senang berpikir mendalam
dan merenungkan kehidupan ini, maka puasa mengandung falsafah hidup yang luhur
dan mantap, dan bagi mereka yang senang mawas diri dan berusaha turut
mengahayati perasaan orang lain, maka mereka akan menemukan
prinsip-prinsip hidup yang sangat berguna. Disadari atau tidak disadari, puasa
akan berpengaruh positif kepada rasa (emosi), cipta (rasio), karsa (will),
karya (performance), bahkan kepada ruh, jika syarat dan rukunnya
dipenuhi dengan sabar dan ikhlas (Bastaman, 1995:181).
Puasa
merupakan momentum berharga untuk menghadirkan mental yang sehat, sebab dalam
puasa terkandung latihan-latihan kejiwaan yang harus dilalui, misalnya berlaku
jujur dengan menahan lapar dan dahaga baik di kala bersama orang lain mapupun
saat sendirian.
Kesehatan Mental
Pengetahuan
tentang kesehatan mental berkembang secara luas di negara-negara maju, teratama
dalam beberapa tahun terakhir ini. Di beberapa negara pembahasannya telah
samapai pada tingkat mencari jalan pencegahan (preventive) agar orang
tidak menderita kegelisahan dan gangguan jiwa. Meskipun sering digunakan
istilah kesehatan mental, namun pengertiannya masih kabur dan kurang jelas bagi
orang awam.
Daradjat (1995:11) memberi definisi kesehatan
mental, antara lain:
- Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan
jiwa (neurose) dan dari gejala-gejala penyakit jiwa (psychose).
- Kesehatan mental adalah kemampuan untuk mnyesuaikan diri dengan
diri sendiri, dengan orang lain dan masyarakat serta lingkungan di mana ia
hidup.
- Kesehatan mental adalah pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan
untuk mengembangkan dan memanfaatkan segala potensi, bakat, dan pembawaan
yang ada semaksimal mungkin, sehingga membawa kepada kebahagiaan diri dan
orang lain, serta terhindar dari gangguan dan penyakit jiwa.
- Kesehatan mental adalah terwujudnya keharmonisan yang
sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan
untuk menghadapi problem-problem yang biasa terjadi, dan merasakan secara
positif kebahagiaan dan kemampuan dirinya.
Sedangkan
menurut Bastaman (1995: 132) mengutip pendapat Saparinah Sadli, guru besar
Fakultas Psikologi UI tentang kesehatan mental, yaitu:
- Orientasi klasik. Seseorang dianggap sehat bila ia tidak mempunyai
keluhan tertentu, seperti; ketenangan, rasa lelah, cemas, rendah diri, atau
perasan tidak berguna, yang semuanya menimbulkan perasaan
"sakit" atau "rasa tidak sehat" serta mengganggu
efesiensi aktivitas sehari-hari. Orientasi ini banyak dianut di lingkungan
kedokteran.
- Orientasi penyesuaian diri. Seseorang dianggap sehat secara
psikologis, bila ia mampu mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntunan
orang lain serta lingkungan sekitarnya.
- Orientasi pengembangan potensi. Seseorang dianggap sehat, bila ia
mendapat kesempatan untuk mengembangkan potensinya menuju kedewasaan
sehingga ia bisa dihargai oleh orang lain serta dirinya sendiri.
Dari
pelbagai definisi di atas dapat ditarik benang merah, bahwa kesehatan mental
adalah suatu kondisi yang dialami seseorang yang mana ia tidak mendapatkan
gangguan atau penyakit jiwa, sehingga ia mampu menyesuaian diri dengan dirinya
sendiri serta lingkungannya, serta mampu mengembangkan potensi yang dimiliki
secara harmonis dan seimbang.
Adapun gangguan atau penyakit jiwa di masyarakat
antara lain:
- Fobia, yaitu rasa takut yang tidak rasional dan tidak realistis,
yang bersangkutan tahu dan sadar benar akan ketidakrasionalnya dan
ketidakbenarannya, namun ia tidak mampu mencegah dan mengendalikan diri
dari rasa takut itu.
- Obsesi, yaitu corak pikiran yang sifatnya terpaku (persistent)
dan berulangkali muncul. Yang bersangkutan tahu benar akan kelaianan
pikirannya itu, namun ia tidak mampu mengalihkan pikirannya pada
masalah lain dan tidak mampu mencegah munculnya pikiran itu yang selalu
timbul berulang-ulang.
- Kompulsi, yaitu suatu pola tindakan atau perbuatan yang
diuang-ulang. Yang bersangkutan tahu benar bahwa perbuatan mengulang-ulang
itu tidak benar dan tidak rasional, namun yang bersangkutan tidak mampu
mencegah perbuatannya sendiri (Hawari, 1995: 253).
Dalam
pandangan psikologi Islam, penyakit mental yang biasa berjangkit pada diri
manusia, antara lain:
- Riya'. Penyakit ini mengandung tipuan, sebab menyatakan sesuatu
yang tidak sebenarnya, orang yang berbuat riya' mengatakan atau melakukan
perbuatan yang tidak sesuai dengan hakikat yang sebenarnya.
- Hasad dan dengki, yaitu suatu sikap yang melahirkan sakit
hati apabila orang lain mendapat kesenangan dan kemuliaan, dan ingin agar
kesenangan dan kemulian itu hilang dari orang tersebut dan beralih kepada
dirinya.
- Rakus, yaitu keinginan yang berlebihan untuk makan.
- Was-was. Penyakit ini sebagai akibat dari bisikan hati, cita-cita,
dan angan-angan dalam nafsunya dan kelezatan.
- Berbicara berlebihan. Keinginan berbicara banyak merupakan salah
satu kwalitas manusia yang paling merusak. Hal ini dapat mengahantarkan
kepada pembicaraan yang tidak berguna dan berbohong.
- Dan lain sebagainya (Langgulung, 1986: 328).
Korelasi antara Puasa dengan Kesehatan Mental
Dalam
Islam pengembangan kesehatan mental terintegrasi dalam pengembangan pribadi
pada umumnya, dalam artian kondisi kejiwaan yang sehat merupakan hasil
sampingan (by-product) dari kondisi yang matang secara emosional,
intelektual, dan sosial, serta matang keimanan dan ketaqwaan kepada Allah Tuhan
Yang Maha Esa. Hal ini tampak sejalan dengan ungkapan lama the man behind
the gun, yang menunjukkan bahwa unsur penentu dari segala urusan ternyata
adalah unsur manusianya juga, atau dalam tulisan ini lebih tepat diganti
menjadi the man behind the system.
Dengan
demikian, jelas dalam Islam betapa pentingnya pengembangan pribadi untuk meraih
kwalitas insan paripurna, yang otaknya sarat dengan ilmu-ilmu bermanfaat,
bersemayam dalam kalbunya iman dan taqwa kepada Tuhan, sikap dan perilakunya
meralisasikan nilai-nilai kiislaman yang mantap dan teguh, wataknya terpuji,
dan bimbingannya kepada masyarakat membuahkan keimanan, rasa kesatuan,
kemandirian, semangat kerja tinggi, kedamaian dan kasih sayang. Insan demikian
pastilah jiwanya sehat. Suatu tipe manusia ideal dengan kwalitas yang
mungkin sulit dicapai, tetapi dapat dihampiri melalui berbagai upaya yang
dilakukan secara sadar, aktif, dan terencana.
Ditinjau
secara ilmiyah, puasa dapat memberikan kesehatan jasmani maupun ruhani. Hal ini
dapat dilihat dari beberapa hasil penelitian yang dilakukan para pakar. Penelitian
Nicolayev, seorang guru besar yang bekerja pada lembaga psikiatri Mosow (the
Moskow Psychiatric Institute), mencoba menyembuhkan gangguan kejiwaan
dengan berpuasa. Dalam usahanya itu, ia menterapi pasien sakit jiwa dengan
menggunakan puasa selama 30 hari. Nicolayev mengadakan penelitian eksperimen
dengan membagi subjek menjadi dua kelompok sama besar, baik usia maupun berat
ringannya penyakit yang diderita. Kelompok pertama diberi pengobatan dengan
ramuan obat-obatan. Sedangkan kelompok kedua diperintahkan untuk berpuasa
selama 30 hari. Dua kelompom tadi dipantau perkembangan fisik dan
mentalnya dengan tes-tes psikologis. Dari eksperimen tersebut diperoleh hasil
yang sangat bagus, yaitu banyak pasien yang tidak bisa disembuhkan dengan
terapi medik, ternyata bisa disembuhkan dengan puasa. Selain itu kemungkinan
pasien tidak kambuh lagi selama 6 tahun kemudian ternyata tinggi. Lebih dari
separoh pasien tetap sehat.
Sedangkan
penelitian yang dilakukan Alan Cott terhadap pasien gangguan jiwa di rumah
sakit Grace Square, New York juga menemukan hasil sejalan dengan penelitian
Nicolayev. Pasien sakit jiwa ternyata bisa sembuh dengan terapi puasa.
Ditinjau
dari segi penyembuhan kecemasan, dilaporkan oleh Alan Cott, bahwa penyakit
seperti susah tidur, merasa rendah diri, juga dapat disembuhkan dengan puasa.
Percobaan
psikologi membuktikan bahwa puasa mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang.
Hal ini dikaitkan dengan prestasi belajarnya. Ternyata orang-orang yang rajin
berpuasa dalam tugas-tugas kolektif memperoleh skor jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan orang yang tidak berpuasa.
Di
samping hasil penelitian di atas, puasa juga memberi pengaruh yang besar bagi
penderita gangguan kejiwaan, seperti insomnia, yaitu gangguan mental yang
berhubungan dengan tidur. Penderita penyakit ini sukar tidur, namun dengan
diberikan cara pengobatan dengan berpuasa, ternyata penyakitnya dapat dikurangi
bahkan dapat sembuh.
Dari segi
sosial, puasa juga memberikan sumbangan yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat
dari kendala-kendala yang timbul di dunia. Di dunia ini ada ancaman kemiskinan
yang melanda dunia ketiga khususnya. Hal ini menimbulkan beban mental bagi
sebagian anggota masyarakat di negara-negara yang telah menikmati kemajuan di
segala bidang. Menanggapi kemiskinan di dunia ketiga, maka di Amerika muncul
gerakan Hunger Project. Gerakan ini lebih bersifat sosial, yaitu setiap
satu minggu sekali atau satu bulan sekali mereka tidak diperbolehkan makan.
Uang yang semestinya digunakan untuk makan tersebut diambil sebagai dana untuk
menolong mereka yang miskin (Ancok, 1995:57).
Apabila
hal di atas dikaitkan dengan dakwah Islam, maka dengan tujuan amal ibadah,
puasa yang kita lakukan mempunyai aspek sosial juga, yaitu selama satu bulan
kita menyisihkan uang yang biasa kita belanjakan pada hal-hal yang kurang
bermanfaat, misalnya Rp. 2000,-/hari, maka dalam satu bulan akan terkumpul
sebanyak Rp. 60.000,- untuk satu orang. Apabila seluruh umat Islam di Indonesia
berpuasa, maka berapa banyak uang yang terkumpul dengan metode ini??? Dan
kemudian uang tersebut digunakan untuk santunan sosial.
Ibadah
puasa yang dikerjakan bukan karena iman kepada Allah biasanya menjadikan puasa
itu hanya akan menyiksa diri saja. Adapun puasa yang dikerjakan sesuai ajaran
Islam, akan mendatangkan keuntungan ganda, antara lain: ketenangan jiea,
menghilangkan kekusutan pikiran, menghilangkan ketergantungan jasmani dan
rohani terhadap kebutuhan-kebutuhan lahiriyah saja.
Menurut
Hawari (1995:251), puasa sebagai pengendalian diri (self control).
Pengendalian diri adalah salah satu ciri utama bagi jiwa yang sehat. Dan
amnakala pengendalian diri seseorang terganggu, maka akan timbul berbagai
reaksi patologik (kelainan) baik dalam alam pikiran, perasaan, dan
perilaku yang bersangkutan. Reaksi patologik yang muncul tidak saja
menimbulkan keluhan subyektif pada diri sendiri, tetapi juga dapat mengganggu
lingkungan dan juga orang lain.