Minggu, 19 Mei 2013

biografi Pendiri PP.ASSA'IDIYYAH-JOMBANG

    
     Atas ridho Allah  telah lahir seorang bayi dari pasangan KH. Abdurrohim bin chasbullah dengan raden ajange Siti wardiyah dengan nama Ach. Nashrullah. Beliau tumbuh besar menjadi anak yang  sehat dan cerdas. Tapi sayang sebelum ayah nya menyaksikan kkeceradasan anaknya, KH. Abdurrohim dipanggil oleh Allah SWT. Jadilah beliau menjadi anak yatim yang setiap saat merasakan getir pahitya kehidupan pada zaman penjajahan jepang. Kelaparan dan rasa sakit sering ia tahan agar tidak semakin memberatkan beban ibunda yang janda dan masih sangat muda, karena masih ada adiknya yang saat itu masih balita yakni chisnullah dan Amanullah, serta kakaknya Alfatih dan siti Bariroh sudah sangat besar. Ujian bertubi-tbi menimpa keluarga Abdurrohim, karena sepeninggal beliau anak perempuan satu-satunya tersebut menderita sakit mata yang menyebabkan kebutaan sepanjang hidupnya.
      Nyai siti mas Wardiyah akhirnya membesarkan dan mendidik lima anaknya dalam keadaan janda dan serba kekurangan. Hingga akhirnya beliau menikah lagi dengan KH. Mansur. Tidak puas dengan keadaan yang ada dirumah akhirnya ach. Nashrullah yang pada saat itu berusia 12 tahun sesudah tamat MI-BU merantau ke kota Bumi ayu Jawa Tengah dan di asuh oleh Kyai ma’sum di desa leren Bumi ayu. Kecerdasan beliau di ketahui oleh sang kyai, oleh karena itu rasa hormat dan sayangnya putra asuhnya diwujudkan denagn mengankat sebagai guru madrasah yang diasuh oleh Kyai ma’sum tersebut. Kurang lebih lima tahun di bumi ayu kemudian dipanggil pulang oleh KH. Wahab Hasbullah agar membantu mengelola pesantren yang saat itu sering di tinggal ke jakarta untuk urusan politik dan kenegaraan. Maka Ach. Nashrullah yang saat berusia 17 tahun telah tampil menjadi guru Nahwu dan bahasa Arab di pondok Al-latifiyyah  yang telah dirintis oleh kakeknya yang bernama chasbullah dan lathifah.
      Guru muda dan primadona ini akhirnya menyunting gadis pilihan yang merupakan salah satu murid beliau dan lurah pondok saat itu, ia adalah Siti Zubaidah binti H. Sulaiman, gadis polos dari desa Keboan kecamatan kudu Jombang yang pandai melantunkan bacaan Al-Qur’an. Tanggal perkawinannya adalah 27 September 1958. dari perkawinan tersebut beliau melahirkan enam orang putra, lima perempuan dan satu laki-laki. Secara berurutan mereka adalah Munhidhatul Ummah, Umdatul Khoirot, Roidhatus Salamah, Zumrotus Sholichah, Moh. Habiburrahman dan yang terakhir Sa’adatul Athiyah. Kini mereka sudah menjadi manusia dewasa yang mengamban amanah Pesantren As-Sa’idiyah sepeninggal beliau.
     Perjuangannya sesudah menikah, Achmad Nasrullah yang saat itu terkenal terkenal dengan panggilan Gus Nasrul pulang kerumah mertua di Keboan. Disinilah Gus Nasrul melanjutkan perjuangannya menjadi guru ngaji dan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1961 dan sampai sekarang Madrasah tersebut masih hidup dan berkembang kurang lebih 21 tahun di Keboan lalu di panggil lagi untuk pulang ke tambakberas sesudah wafatnya KH. Wahab Chasbullah pada tahun 1977 beliau diangkat menjadi kepala Madrasah Mualimin Mualimat (MMA) BU kurang lebih selama 15 tahun.
    Tampaknya sudah menjadi garis yang khaliq bahwa kelahiran beliau ini memang untuk berjuang. Watak keras yang melingkupi diri beliau ini justru menjadi energi bagi semangat juangnya. Pada tahun 1985 beliau merintis As-Sa’idiyah yang sampai sekarang bisa kita manfaatkan bersama tanpa bergantung kepada bantuan pemerintah. Dan pada tahun 1981 mendirikan Madrasah I’idadiyah Lil Mu’alimin Wal Mu’alimat dua tahun, lalu pada tahun 1991 berubah menjadi Madrasah I’idadiyah Lil Jami’ah Bharul ‘Ulum Program lima tahun,  hingga pada tahun 2005  Madrasah I’idadiyah memiliki program baru yaitu hanya tiga tahun untuk menempuh study dan berlanjut hingga sekarang MAJ terus berkembang. Pada tahun ajaran 2009 ini MAI memiliki program baru yakni beasisiwa SPP dan asrama bagi seluruh murid baru. 
    Cita-cita beliau untuk mendirikan dan membesarkan Madrasah ini tidak pernah pudar sekalipun harus melalui jalan terjal yang memberatkan, terutama ketika belum mempunyai gedung sendiri kemudian dipaksa pindah dari tempat semula yang ditempati selama beberapa tahun, demi perjuangannya beliau KH. Achmad Nasrullah Abdurrahim rela mengorbankan sebagian rumahnya untuk belajar para siswa-siswi SPPT. Keadaan seperti ini berjalan selama tiga tahun dan alhamdulillah sekarang sudah memiliki gedung sendiri.
     Selain sebagain pendidik beliau pernah aktif di berbagai organisasi-organisasi yang ada dibawah naungan Nahdlotul ‘Ulama misalnya : Anshor, pernah menjadi Katib Syuriyaspur  NU Jawa Timur, Anggota pengurus pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah, juga menjadi hakim agama Pengadilan Negeri Jombang kurang lebih selama 10 tahun, pengurus MUI Jombang angota DPRD, Dosen Ilmu Fiqih di UNHASI Tebuireng Jombang yang sekarang berganti nama menjadi IKAHA.
POLA PEMIKIRAN BELIAU
      Pola pemikiran abah KH. Achmad Nasrullah yang paling kental dalam sikap hidupnya adalah: moderat, salafi modern, dan kepekaan sosial. Moderat yang dimaksud disini adalah tidak kolot atau lalim juga disebut juga dengan ekstrim. Artinya adalah memandang suatu masalah yang berkaitan dengan hukum, tidak dikembalikan pada ketentuan fiqih murni (fiqih sentris) saja, tetapi lebih dikembalikan pada kaidah-kaidah fiqihiyah dimana faktor ilat hukum dan maslahat lebih sangat diperhatikan.  Misalnya pada zaman 70-an dimana memakai celana bagi kaum perempuan itu diharamkan oleh sebagian ulama, maka Kyai Nasrullah menetapkan “boleh” memakai celana selama tidak menyerupai laki-laki dan membawa rasa aman bagi perempuan itu.
    Kemudian yang kedua adalah bahwa beliau tetap ingin memperhatikan nilai-nilai lama, kitab-kitab salaf, ajaran-ajaran ulama’ salaf tapi disampaikan dengan pendekatan dan metode yang modern. Hal ini bisa kita lihat, misalnya dalam mengajar tafsir fiqih atau ilmu-ilmu yang lain. Dan didalam memberikan dan menerangkan pelajaran tidak tekstual, akan tetapi kepada anak didik diajarkan pula tentang materi-materi pelajaran itu dalam kaitannya dengan kehidupan yang dialami oleh anak didik dimana dan kapan mereka tinggal dan belajar (konstektual).
    Yang ketiga adalah Kepekaan Sosial. Sifat yang ketiga ini melekat dalam diri beliau barangkali karena beliau merasakan sendiri bagaimana menjadi anak yatim dan serba kekurangan. Karena itulah beliau mengajarkan bagaimana cara menyayangi orang-orang lemah(dhuafa’). Dalam praktek keseharian beliau selalu memperhatikan santri atau anak anak didik yang potensial tapi tidak mempunyai biaya dengan memberikan beasiswa ataupun dispensasi SPP. Memberikan dukungan moral maupun material kepada para santri terutama yang tak cukup biaya namun mempunyai prestasi dan kepandaian karena beliau sangat mencintai ilmu dan orang-orang pintar.
    Inilah sekelumit tentang KH. Nasrullah yang amat kita cintai. Mudah-mudahan kita bisa mengambil hikmah yang terbaik dari beliau.dan mudah-mudahan amal beliau diterima disisi-Nya. Amin...