Menanggapi kebiasaan merokok di kalangan santri
Sinyal atau alarm tanda bahaya bagi pesantren telah dibunyikan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Sekretaris Jenderal PBNU, Endang Turmudi, dalam sambutan pembukaan Pelatihan Peningkatan Kemampuan dalam Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Narkoba yang diikuti 12 pesantren se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Yogyakarta, di Hotel Sari Pan Pacific Jakarta, Kamis (31/01/2008), menyatakan, beberapa survei mensinyalir adanya segelintir santri yang terbukti mengonsumsi narkoba.
Statemen ini begitu menghentakkan, terutama bagi warga pesantren. Betapa tidak, narkoba yang lumrahnya identik dengan perilaku nakal remaja kota, kini mulai menjadi bagian dari kehidupan santri. Padahal, pesantren identik dengan "surga", sedang narkoba identik dengan "neraka". Karenanya, sungguh menggelikan jika dua simbol yang berbeda ini bertemu, justru di lingkungan pesantren. Jika demikian, apa yang salah dengan pesantren? Tidak mudah menjawabnya. Namun ada beberapa catatan yang penting diajukan terkait kenyataan ini.
Pertama, pesantren acap disebut sebagai "penjara suci", karena kentalnya nilai-nilai relijiusitas di dalamnya. Namun jika terbukti ada narkoba yang masuk ke dalamnya, ini tak lepas dari efek pasar bebas yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siapapun yang diyakini akan menghasilkan keuntungan, mereka akan menjadi korbannya, tak terkecuali para santri. Bandar memang tak peduli siapa korbannya. Pun tak peduli runtuhnya benteng moralitas mereka.
Kedua, banyak ahli meyakini, kecanduan narkoba bermula dari kebiasaan merokok. Ini bukan kesimpulan yang benar 100 persen, namun banyak yang membenarkannya. Dan, santri adalah tipe perokok hebat. Kadang ada gurauan di kalangan santri; "siapapun belum sah disebut santri jika nggak merokok". Ini bukti bahwa merokok telah menjadi bagian dari kesantrian itu sendiri, termasuk menjadi tradisi para kiai yang tak mudah dihentikan.
Menurut hemat penulis, jika benar ada keterkaitan erat antara narkoba dengan kebiasaan merokok, maka tidak ada alasan sedikitpun untuk mentolerir para santri melakukannya secara bebas. Diakui memang, keharaman merokok masih debatable. Sebagian ulama melarang dan sebagian lain membolehkan. Yang pasti, dalil keharaman merokok tak pernah ditemukan dalam doktrin Islam.
Kendati demikian, pintu apapun yang (diduga) akan mengantarkan pada narkoba, maka seharusnya ia ditutup rapat-rapat. Dalam tradisi pesantren, dikenal adagium amrun bi al-syai� amrun bi wasailih (perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan perantaranya). Jika narkoba harus dihindari, maka perantara yang akan mengantarkan padanya juga harus dihindari. Simpelnya, jika rokok diyakini sebagai pintu masuk pada narkoba, maka rokok juga harus dihindari. Ini logika sederhana para santri, yang biasa disebut sadd al-dzari'ah (menutup pintu terjadinya kerusakan).
Ketiga, hubugan kiai-santri yang mungkin agak renggang, karena kesibukan kiai dan sebagainya, perlu dirajut dan dieratkan kembali secara lebih intensif. Kiai dan stake holder lainnya, kini memiliki tanggungjawab baru untuk memantau perkembangan demi perkembangan para santrinya secara serius; baik perkembangan pendidikan, pergaulan, moralitas atau tingkah laku. Dengan pantauan ini, diharapkan penyimpangan-penyimpangan dapat terhindarkan. Pesantren pun betul-betul berjalan sesuai fungsinya, yaitu membentuk jiwa-jiwa relijius nan jauh dari jejaring setan.
Keempat, pengelola pesantren mulai kini perlu menginjeksi informasi sebanyak-banyaknya seputar bahaya narkoba. Sebab bukan tidak mungkin, segelintir santri yang kedapatan mengonsumsi narkoba, itu lantaran mereka tidak memahami bahaya zat yang dikonsumsinya. Penginformasian ini bisa disisipkan di sela-sela pengajian kitab kuning, muhadharah, atau pengadaan seminar kecil dengan menghadirkan ahli atau mantan pecandu narkoba. Taburan informasi ini diharapkan bisa meminimalisir peredaran narkoba di lingkungan pesantren.
Kelima, genderang perang terhadap narkoba harus ditabuh dari pesantren dengan menjadikan pesantren sebagai basis penanggulangan narkoba. Ini tak lain karena pesantren adalah benteng terakhir umat Islam di negeri ini. Jika benteng ini jebol, narkoba dipastikan membanjir di mana-mana. Karena itu, pesantren harus memiliki kepedulian dan keseriusan mengatasi ancaman ini.
Jika point-point di atas bisa dilaksankan, sinyal bahaya narkoba bagi pesantren akan segera padam. Pesantrenpun akan kembali pada fungsi awalnya. Dan mudah-mudahan, pesantren bisa meloloskan dirinya dari intaian orang-orang jahat �bandar� narkoba. Syukur-syukur, pesantren bisa menjadi lembaga penyembuhan bagi para pecandu narkoba (seperti Ponpes Suryalaya di Tasikmalaya Jawa Barat asuhan Abah Anom), bukannya lembaga yang malah subur dihuni para pecandu narkoba. Amin! Wa Allah a'lam.[]
Statemen ini begitu menghentakkan, terutama bagi warga pesantren. Betapa tidak, narkoba yang lumrahnya identik dengan perilaku nakal remaja kota, kini mulai menjadi bagian dari kehidupan santri. Padahal, pesantren identik dengan "surga", sedang narkoba identik dengan "neraka". Karenanya, sungguh menggelikan jika dua simbol yang berbeda ini bertemu, justru di lingkungan pesantren. Jika demikian, apa yang salah dengan pesantren? Tidak mudah menjawabnya. Namun ada beberapa catatan yang penting diajukan terkait kenyataan ini.
Pertama, pesantren acap disebut sebagai "penjara suci", karena kentalnya nilai-nilai relijiusitas di dalamnya. Namun jika terbukti ada narkoba yang masuk ke dalamnya, ini tak lepas dari efek pasar bebas yang mampu menembus batas ruang dan waktu. Siapapun yang diyakini akan menghasilkan keuntungan, mereka akan menjadi korbannya, tak terkecuali para santri. Bandar memang tak peduli siapa korbannya. Pun tak peduli runtuhnya benteng moralitas mereka.
Kedua, banyak ahli meyakini, kecanduan narkoba bermula dari kebiasaan merokok. Ini bukan kesimpulan yang benar 100 persen, namun banyak yang membenarkannya. Dan, santri adalah tipe perokok hebat. Kadang ada gurauan di kalangan santri; "siapapun belum sah disebut santri jika nggak merokok". Ini bukti bahwa merokok telah menjadi bagian dari kesantrian itu sendiri, termasuk menjadi tradisi para kiai yang tak mudah dihentikan.
Menurut hemat penulis, jika benar ada keterkaitan erat antara narkoba dengan kebiasaan merokok, maka tidak ada alasan sedikitpun untuk mentolerir para santri melakukannya secara bebas. Diakui memang, keharaman merokok masih debatable. Sebagian ulama melarang dan sebagian lain membolehkan. Yang pasti, dalil keharaman merokok tak pernah ditemukan dalam doktrin Islam.
Kendati demikian, pintu apapun yang (diduga) akan mengantarkan pada narkoba, maka seharusnya ia ditutup rapat-rapat. Dalam tradisi pesantren, dikenal adagium amrun bi al-syai� amrun bi wasailih (perintah mengerjakan sesuatu, berarti perintah mengerjakan perantaranya). Jika narkoba harus dihindari, maka perantara yang akan mengantarkan padanya juga harus dihindari. Simpelnya, jika rokok diyakini sebagai pintu masuk pada narkoba, maka rokok juga harus dihindari. Ini logika sederhana para santri, yang biasa disebut sadd al-dzari'ah (menutup pintu terjadinya kerusakan).
Ketiga, hubugan kiai-santri yang mungkin agak renggang, karena kesibukan kiai dan sebagainya, perlu dirajut dan dieratkan kembali secara lebih intensif. Kiai dan stake holder lainnya, kini memiliki tanggungjawab baru untuk memantau perkembangan demi perkembangan para santrinya secara serius; baik perkembangan pendidikan, pergaulan, moralitas atau tingkah laku. Dengan pantauan ini, diharapkan penyimpangan-penyimpangan dapat terhindarkan. Pesantren pun betul-betul berjalan sesuai fungsinya, yaitu membentuk jiwa-jiwa relijius nan jauh dari jejaring setan.
Keempat, pengelola pesantren mulai kini perlu menginjeksi informasi sebanyak-banyaknya seputar bahaya narkoba. Sebab bukan tidak mungkin, segelintir santri yang kedapatan mengonsumsi narkoba, itu lantaran mereka tidak memahami bahaya zat yang dikonsumsinya. Penginformasian ini bisa disisipkan di sela-sela pengajian kitab kuning, muhadharah, atau pengadaan seminar kecil dengan menghadirkan ahli atau mantan pecandu narkoba. Taburan informasi ini diharapkan bisa meminimalisir peredaran narkoba di lingkungan pesantren.
Kelima, genderang perang terhadap narkoba harus ditabuh dari pesantren dengan menjadikan pesantren sebagai basis penanggulangan narkoba. Ini tak lain karena pesantren adalah benteng terakhir umat Islam di negeri ini. Jika benteng ini jebol, narkoba dipastikan membanjir di mana-mana. Karena itu, pesantren harus memiliki kepedulian dan keseriusan mengatasi ancaman ini.
Jika point-point di atas bisa dilaksankan, sinyal bahaya narkoba bagi pesantren akan segera padam. Pesantrenpun akan kembali pada fungsi awalnya. Dan mudah-mudahan, pesantren bisa meloloskan dirinya dari intaian orang-orang jahat �bandar� narkoba. Syukur-syukur, pesantren bisa menjadi lembaga penyembuhan bagi para pecandu narkoba (seperti Ponpes Suryalaya di Tasikmalaya Jawa Barat asuhan Abah Anom), bukannya lembaga yang malah subur dihuni para pecandu narkoba. Amin! Wa Allah a'lam.[]